Profesionalisme dan UU
Konstruk profesionalisme dalam UU keperawatan tidak disebut secara eksplisit. Tetapi sesungguhnya secara implisit menjadi roh dan semangat di setiap pasalnya. Itu yang membanggakan dari UU ini. Hal itu tidak bisa dipisahkan dari sang maestro, prof achiryani dan tim.
Setidaknya ada tiga pilar yang menjadi dasar dalam membangun profesionalisme keperawatan yaitu sistem pendidikan, sistem pelayanan dan sistem regulasi.
Profesionalisme dimaknai hubungan kepercayaan yang terjadi antara perawat dan masyarakat. Pasien memberi lisensi langsung atas kesembuhannya, perawat harus menjawab kepercayaan tersebut dengan standar kompetensi tinggi dan tanggung jawab moral yang baik dalam pelayanan.
Karena itu mutu dan kompetensi perawat harus dibangun berdasarkan kaidah-kaidah profesionalisme. Pertama, sistem pendidikan digeser dari vokasional ke akademik profesional. Dalam UU, kita memiliki pendidikan vokasional, pendidikan akademik dan profesi. Sebagai dasar membedakan kompetensi perawat vokasi, ners dan spesialis.
Hal ini menjadi tugas berat kita selama 20 tahun terakhir, mengingat saat itu dasar pendidikan kita sangat rendah. Upaya tiada henti yang kita lakukan mulai dirasakan saat ini. Tinggal kita mempercepat program spesialis bagi klinisi, dan tidak perlu dipaksa klinisi mengambil magister.
Kedua, sistem kredensial, meliputi sertifikasi, registrasi dan lisensi dan re registrasi. Setiap perawat yang memberikan pelayanan harus mengikuti serangkaian pendidikan atau pelatihan dan menunjukkan kompetensinya (sertifikasi), tercatat (registrasi) dan memiliki ijin dari pemerintah (lisensi). Hal ini sangat penting untuk menjaga kompetensi perawat. Ingat, semakin pelayanan diberikan seorang yang kompeten keselamatan pasien semakin terjaga.
Ketiga, hak dan kewajiban, tugas, wewenang, hingga pendelegasian wewenang diatur sangat detail yang menjamin posisi perawat dihadapan pasien dan profesi lain, dalam menjaga hubungan interdisiplin atau kolaboratif. Ini juga menjadi tantangan terbesar perawat dimana mereka harus mereposisi peran dan fungsi yang selama ini dilakukan, terutama di desa, daerah terpencil dan perbatasan.
Keempat, dibutuhkan instrumen untuk menjaga sistem tersebut yang melibatkan lembaga otonom yaitu konsil keperawatan. Sedangkan untuk mengawal eksistensi perawat dilakukan oleh organisasi PPNI, termasuk kolegium. Dengan kata lain berperan dalam pembinaan dan pengawasan.
Terlepas faktor kesejahteraan perawat yang tidak dijamin, UU Keperawatan murni keinginan perawat untuk mereformasi diri menuju profesionalisme keperawatan yang lebih baik. Kemuliaan ini harus diapresiasi seraya berharap pemerintah mengeluarkan permenkes tentang sistem jenjang karier dan remunerasi, syukur tunjangan profesi. Ha ha..!
Jadi, profesionalisme terkait erat dengan sistem pendidikan, pelayanan dan kredensial sebagai bentuk tanggung jawab kepada publik. Dan itu dijamin oleh UU Keperawatan.
Semoga kehidupan profesionalisme kita semakin kuat. Dan semoga pula profesionalisme teman2 di KPK dan POLRI yang sedang diuji mendapat penyelesaian sesuai dengan kaidah dan nilai seorang profesional. Salam maju bersama sukses bersama.