Anak Tiri Itu Bernama Perawat

SEJUMLAH tenaga kesehatan sempat bergembira ria. Diraut wajah mereka tersirat harapan terhadap masa depan yang cerah. Impian untuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) tampaknya sudah kian dekat. Inilah upaya menjadi abdi di negeri sendiri yang akan segera terealisasi. Setidaknya, hal itu tercermin dengan dikeluarkannya Surat Edaran dari Kementerian Kesehatan perihal pengangkatan tenaga kontrak pusat atau Pegawai Tidak Tetap (PTT) menjadi ASN.

Surat itu pun sontak saja beredar ke semua provinsi, kota dan kabupaten. Lembaran kebijakan itu ternyata telah menjadi perhatian bersama para tenaga kesehatan Indonesia, khususnya mereka-mereka yang bekerja senyap, di lorong-lorong gelap yang ada di sudut-sudut pelosok negeri. Isi surat itu meminta supaya pemerintah daerah segera melakukan seleksi terhadap pegawai tidak tetap yang telah bekerja lebih dari 5 tahun. Meski memberi harapan namun surat itu sempat juga mengundang beragam reaksi hebat, terutama dari para tenaga kesehatan yang masuk ke dalam kategori tersebut.

Dalam diktum surat, ada niat dari pemerintah pusat untuk melakukan pengangkatan langsung para PTT sebagai ASN dengan melewati seleksi di daerah masing-masing. Informasi dan isi surat itu ternyata beredar dengan sangat cepat, terutama di media sosial yang berlangsung sangat massif. Penyebaran yang berlangsung cepat itu sesungguhnya hal wajar. Inilah angin segar yang sudah diberikan pemerintah. Bahkan, ada di antara mereka yang sudah menyimpan keinginan kuat menjadi ASN itu sejak bertahun-tahun lamanya.

Fenomena ini tentu saja memberikan efek luar biasa bagi tenaga kesehatan seperti dokter, dokter gigi dan bidan. Namun sejujurnya, ada hal yang sedikit melukai profesi lain di lingkup kehidupan profesional ini, yaitu perawat. Pertanyaan besar terucap; mengapa pemerintah tidak memasukkan profesi perawat? Bukankah perawat juga menjadi bagian dari kolaborasi tenaga kesehatan lain? Pertanyaan seperti ini sudah berseliweran di kalangan bawah namun perawat rupanya memilih setia untuk terus bekerja tanpa ada suara apalagi bersikap keras di luar sana.

Mengapa Berbeda?

Sebagai sebuah profesi, kebijakan ini tentu saja telah mengabaikan peran perawat. Semua pihak tentunya sangat menginginkan supaya masyarakat di negeri ini sehat, ibu dan anak melahirkan dengan selamat serta penguatan nilai keluarga tentang sehat menjadi kebiasaan yang tak terlewatkan.

Untuk mewujudkan hal itu, tentunya harus ada keterlibatan banyak pihak. Perawat dan profesi lainnya sepantasnya menjadi satu tubuh yang dalam aplikasi kerjanya saling berkolaborasi untuk menciptakan masyarakat sehat, lingkungan yang efektif serta keselamatan dari berbagai bahaya kesehatan yang ada seperti penyakit tidak menular dan berbagai gangguan kesehatan lainnya.

Penegasan bahwa perawat itu adalah sebuah profesi, sesungguhnya sudah ada jauh sebelum Undang-Undang Keperawatan disahkan di Indonesia. Bahkan, usia profesi ini sebenarnya telah melampaui zamannya. Seiring waktu bergulir, perawat pun terus berbenah dari satu masa ke masa lainnya. Berbagai publikasi ilmiah, teori-teori baru bermunculan. Begitu juga dengan metode praktik kesehatan yang terus mengalami perkembangan.

Amerika dan negara-negara Eropa sebagai induk keperawatan dunia ternyata sudah bergerak jauh lebih maju dari kita. Tak hanya dalam peralatan saja tetapi juga dalam bentuk pemikiran dan aturan. Di Amerika, tugas perawat dan tenaga kesehatan lainnya sudah sangat jauh berbeda. Peran mereka juga sudah terpisahkan secara jelas.

Sayangnya, situasi itu masih belum terwujud di negeri ini. Melihat kenyataan yang ada, perawat Indonesia masih seperti menjadi anak tiri. Perbedaan dalam setiap kebijakan ternyata mengubah wajah keperawatan Indonesia dari lulusan tenaga kesehatan yang jumlahnya paling banyak namun tidak terakomodir dengan baik. Begitu juga dengan peningkatan kualitas lulusan serta minimnya lapangan pekerjaan buat mereka.

Namun deretan masalah tersebut bukanlah menjadi jalan buntu bagi perawat. Para perawat terus berusaha sendiri untuk menikmati kesejahteraan dalam hidup. Beberapa diantara mereka mencoba memberanikan diri bekerja di luar negeri. Tujuannya sangat sederhana meningkatkan penghasilan hingga ada yang kaya raya dengan segudang harta dan prestasi yang membanggakan di luar negeri. Tapi itu hanya segelintir orang saja. Selebihnya mereka masih setia dengan pekerjaan dan menjadi mantri keliling ke pelosok-pelosok pedesaan.

Satu hal yang harus disepakati bahwa berbeda sebagai sebuah profesi tentunya menjadi sebuah keniscayaan. Tetapi menempatkan profesi dengan prinsip dan kebijakan yang tidak berkeadilan, rasanya hal semacam itu sungguh melukai rumah sehat yang bernama Indonesia itu sendiri. Rumah yang dirawat dan dijaga oleh berbagai macam profesi hingga saat ini, tentunya harus direnovasi dan direkonstruksi kembali.

Sebagai rumah sehat, Indonesia telah mengalami berbagai macam perubahan, lengkap juga dengan pasang surut sebagai bangsa yang besar. Kepemimpinan saling berganti seiring dengan perubahan berbagai kebijakan, peraturan bahkan perundangundangan. Namun sampai sekarang berbagai pro dan kontra bermunculan sebagai dampak dari kekeliruan dan ketidakadilan negara terhadap profesi serta bagaimana menguatkan lembaga yang ada.

Organisasi profesi dalam hal ini sebagai penguat dan pemersatu sepertinya di uji dengan berbagai kendala akan masa depan profesi. Keperawatan sebagai bagian dari profesi yang ada memerlukan tenaga untuk mengatur kamarnya sendiri. Rasanya bukan hal yang tidak mungkin keadaan rumah sehat bernama Indonesia itu telah didominasi oleh profesi lain yang menjadi tuan rumah dan setiap saat bisa mengatur yang lainnya dengan cara yang berbeda. Sebagi tubuh dan ruang yang menyatu, perawat harus rela berbagi dan menuruti keinginan tuan rumah.

Apakah perawat akan seperti ini selamanya? Bukankah rumah lain begitu memikat untuk dimasuki dan diatur? Jawaban atas pertanyaan itu berada dalam niat dan langkah para perawat Indonesia. Rumah lain bernama luar negeri itu kian menanti untuk dimasuki. Kemilaunya membuat harapan untuk bangkit. Tuan rumahnya begitu ramah dan adil hingga fasilitas yang tersedia begitu nyaman untuk digunakan dan dinikmati.

Alangkah baiknya jika penentu kebijakan berpikir sejenak dan mengambil kesimpulan terhadap berbagai kebijakan dan peraturan yang dibuat apalagi berkaitan dengan profesi atau hajat hidup tenaga kesehatan di seluruh Indonesia tanpa adanya pandang bulu dan dengan prinsip kesetaraan.

Achir Fahruddin (Perawat di Comprehensive Rehabilitation Centre Riyadh, Arab Saudi)/republika.co

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *